Berikut tokoh-tokoh Indonesia yang mampu menguasai banyak bahasa asing. Bangsa ini memiliki putra bangsa dengan kemampuan bahasa yang mencengangkan.
Sebut saja, Gayatri Wailissa, sampai akhirnya hayatnya pada 23 Oktober 2014 silam, setidaknya dia menguasai hingga 14 bahasa asing. Indonesia berduka kehilangan seorang polyglot terbaik bangsa.
Kemampuan berbahasa asing sebaiknya dimiliki oleh para pemimpin bangsa. Kemampuan berbahasa akan membuat diplomasi antarnegara terjalin baik.
Apa jadinya, jika pemimpin bangsa tidak menguasai bahasa internasional? Itu terjadi pada Presiden RI ke-7 Joko Widodo yang kemampuan bahasa asingnya diragukan banyak pihak.
Dalam sejarah bangsa kita mengenal negarawan-negarawan yang menguasai setidaknya lima bahasa. Mereka disebut dengan polyglot.
Bisa jadi mereka termasuk kategori orang-orang genius. Namun, dalam perjalanannya lima tokoh di bawah ini tidak begitu saja dapat menguasai banyak bahasa.
Ada banyak faktor menyertainya. Kecintaan besar terhadap buku dan sastra, serta keingintahuan untuk menjelajahi dunia menjadi salah satu penyebab.
Dari ketekunan dan kedisiplinan negarawan dan tokoh bangsa di bawah ini kita tahu bahwa polyglot bukan keajaiban tapi ilmu yang digali.
Baca juga: 8 Quotes Kemerdekaan dalam Bahasa Inggris dan Terjemah dari Tokoh Dunia
Tokoh Indonesia Penguasa Banyak Bahasa Asing
1. Agus Salim
Lelaki kelahiran Agam, Sumatera Barat, ini adalah negarawan dengan otak cemerlang. Dia banyak dipuji karena kemahirannya menguasai banyak bahasa.
Bahasa Belanda Agus Salim dipelajari pada saat beliau di kapal laut dalam perjalanan menuju Belanda. Dalam sejarah, Agus Salim pernah menjabat Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-3 pada periode 3 Juli 1947 – 20 Desember 1949.
Pada masa jabatannya Agus Salim menjadi ketua delegasi Indonesia dalam Inter Asian Relation Conference di India dan berusaha membuka hubungan diplomatik dengan sejumlah negara Arab, terutama Mesir dan Arab Saudi.
Dia pernah menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS), yang merupakan sekolah khusus anak-anak Eropa. Salim melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool (HBS), dan lulus sebagai lulusan terbaik.
Setidaknya Haji Agus Salim menguasai sembilan bahasa, di antaranya Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, dan Jepang.
Bung Hatta sempat memuji betapa luar biasa kepandaian yang dimilikinya. Dalam seratus tahun, kata Bung Hatta, hanya lahir satu manusia seperti Agus Salim.
Pada 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada 1930, digelar konferensi Buruh Internasional di Jenewa. Agus Salim menghadiri konferensi tersebut.
Dia didaulat sebagai penasehat delegasi buruh Belanda.
Pidato Salim dalam bahasa Inggris mengundang decak kagum dari peserta konferensi tersebut. Melihat hebatnya pidato Salim, seorang peserta konferensi menantangnya berpidato dalam bahasa Perancis.
Salim menjawab tantangan tersebut. Lagi-lagi pidatonya mendapat pujian.
Selain menguasai bahasa di negara Benua Eropa, pahlawan nasional yang dulu dipanggil Pak Salim itu juga mumpuni dalam bahasa Arab. Salah satu elit Serikat Islam ini pernah memukau publik di Mesir.
Saat datang ke Mesir, Salim melakukan tiga kali ceramah memakai bahasa berlainan. Ceramah dalam bahasa Perancis di Institut Geografi Kerajaan, bahasa Inggris di Aula Universitas Fouad I (sekarang Universitas Kairo), dan bahasa Arab di Gedung Persatuan Wartawan Mesir.
2. Soekarno
Presiden Republik Indonesia Pertama ini adalah seorang kutu buku. Selain menguasai sejumlah bahasa asing, Soekarno memiliki keahlian berpidato yang luar biasa.
Dia dapat menyatukan begitu banyak latar belakang etnik, budaya, dan agama dengan lidahnya, tanpa menumpahkan setetes darah pun.
Soekarno menguasai bahasa Indonesia, Jepang, Belanda, Inggris, Arab, Perancis, Jerman, Jawa, Sunda, dan Bali.
Kemampuan Soekarno tersebut diperoleh melalui proses. Namun jelas bahwa buku-buku adalah bagian penting dari proses tersebut. Soekarno remaja sering larut menikmati beragam buku di perpustakaan ayahnya.
Howard Palfrey Jones dalam bukunya, Indonesia: The Possible Dreams, mengatakan jika tahun-tahun dalam penjara dan pengasingan adalah tahun-tahun pendidikan bagi Soekarno.
Kemampuan Soekarno berbahasa asing juga terlihat dari kedekatannya dengan berbagai pemimpin dunia.
Dalam buku tersebut, mantan Duta Besar AS di Indonesia itu menulis pengalaman Bung Karno melukiskan pengalamannya saat membawa buku-buku di penjara.
“Saya bertemu dengan Mazzini, dengan Garibaldi, dengan Plekanov, dengan Trotsky, dengan Lenin, dengan Gandhi, dengan Mustafa Kemal Ataturk, dengan Ho Chi Minh, dengan Sun Yat Sen, dengan Saygo Takamori.
Saya bertemu Nehru, dengan Mohammad Ali Jinnah, dengan Joze Rizal Mercado, yang ditembak mati oleh Spanyol pada 1903. Saya bertemu Thomas Jefferson dan Abraham Lincoln.”
“Begitulah setelah bertemu, setelah berbicara dengan semua pemimpin besar itu, saya menjadi yakin, bahwa manusia itu satu,” kata Bung Karno.
Howar Jones mengatakan, betapa terkesimanya dia melihat otak gajah Soekarno. Dalam pidatonya pemimpin Indonesia itu mampu mengutip panjang kata-kata Jefferson, Lincoln, atau pun Karl Marx persis dalam bahasa aslinya.
3. Buya Hamka
Kita memanggilnya dengan Buya Hamka, seorang sastrawan dan ulama yang dicintai di Indonesia. Masyarakat juga mengenal Hamka sebagai ahli filsafat dan aktivis politik. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, demikian nama lengkap sang ulama.
Lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat, pada 16 Februari 1908, Hamka adalah seorang yang mempelajari berbagai ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik baik Islam maupun Barat secara otodidak.
Proses belajar secara otodidak sangat ditunjang dengan kemampuan bahasanya, terutama bahasa Arab. Hamka mahir berbahasa Arab. Itu sebabnya dapat meneliti karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah, seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal.
Berkat kemampuannya berbahasa Arab itu juga, dia meneliti karya sastra Perancis, Inggris, dan Jerman, seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Pada 1927 Hamka memang pernah berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Dia tinggal selama bulan di kota tersebut. Selama waktu enam bulan tersebut, dia berkesempatan mengasah kemampuannya berbahasa Arab, sekaligus mendapat pengalaman menginpirasi dalam menciptakan novel pertamanya yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Hamka adalah salah satu orang Indonesia yang paling produktif menulis dan menerbitkan buku. Itu sebabnya Hamka dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.
Dia mendapat sebutan Buya, berasal dari bahasa Arab, abi atau abuya, yang berarti ayahku. Itu adalah panggilan yang ditujukan untuk seseorang yang dihormati.
Baca juga: Poliglot Dunia No.7 dari Indonesia, Atlet ini Kusai Belasan Bahasa Asing
4. R.M. Panji Sosrokartono
Bung Hatta pernah berkata, “…Kartono, intelektual yang menguasai 17 bahasa asing itu mudah diterima kalangan elite di Belanda, Belgia, Austria, dan bahkan Perancis.
Dia berbicara dalam bahasa Inggris, Belanda, India, Mandarin, Jepang, Arab, Sanskerta, Rusia, Yunani, Latin. Bahkan dia juga pandai berbahasa Basken (Basque) suatu suku bangsa Spanyol.”
Raden Mas Panji Sosrokartono adalah putera R.M Adipati Ario Sosroningrat, seorang Bupati Jepara. Jika nama Kartono masih tidak familiar, Anda tentu mengenal sosok Raden Ajeng Kartini. Kartini tak lain adalah adik kandung dari Sosro.
Pada 1898 Sosrokartono melanjutkan sekolahnya ke negeri Belanda setelah menamatkan pendidikan dari Eropesche Lagere School di Jepara. Awalnya dia masuk sekolah Teknik Tinggi di Leiden, tapi dia putuskan beralih ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur.
Dia adalah adalah mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda.
Gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden digenggamnya, Sosro melanglang buana ke seluruh Eropa menjelajahi berbagai pekerjaan. Pada 1917, koran Amerika The New York Herald Tribune, di Kota Wina, Austria membuka lowongan kerja sebagai wartawan Perang Dunia I.
Dia ditugaskan untuk memadatkan berita dalam bahasa Perancis menjadi berita yang terdiri dari 30 kata, dan ditulis dalam empat bahasa, Inggris, Spanyol, Rusia, dan Perancis.
Sosrokartono berhasil memenuhi persyaratan tersebut, dia pun terpilih sebagai wartawan perang surat kabar Amerika, The New York Herald Tribune.
Sosrokartono merupakan seorang polyglot yang menguasai banyak bahasa. Sebanyak 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku di Nusantara dia pelajari. Sebelum menjadi wartawan The New York Herald Tribune dia menjadi penerjemah di Wina. Orang-orang Barat menjulukinya, si jenius dari Timur.
Dari tanah Eropa, Sosro selalu mengirimkan buku dan buletin kepada adiknya Kartini. Dari buku-buku kiriman sang kakak itu lah Kartini mendapat pencerahan untuk melahirkan emansipasi perempuan di Tanah Air.
5. Agustinus Wibowo
“Hidup adalah sebuah perjalanan. Kita tidak tahu kapan perjalanan hidup kita akan selesai. Begitu pula saya tidak tahu kapan petualangan saya ini akan berakhir. Yang saya tahu, saya masih ingin terus melanjutkan petualangan saya. Masih ada banyak tempat yang ingin saya kunjungi,” kata Agustinus Wibowo dalam blog resminya.
Agustinus adalah penulis seorang penjelajah dan fotografer yang menulis buku Garis Batas dan Titik Nol. Dia melakukan perjalanan tanpa jeda melalui jalur darat melintasi Asia Selatan dan Tengah.
Dengan kemampuan bahasanya dia melakukan perjalanan mengelilingi Asia, pergi ke atap dunia Tibet, menyeberang Nepal, ke India, lalu menembus ke barat.
Dengan kecerdasan dan keberaniannya, Agustinus masuk ke Pakistan, Afghanistan, Iran, berputar ke Asia Tengah. Perjalanan ke Asia Tengah diawali dari Tajikistan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan, dan Turkmenistan.
Lelaki kelahiran Lumajang Jawa Timur itu menyimpan keinginan berkelana sejak kecil. Dia tumbuh sebagai remaja rumahan, dan senang menghabiskan waktunya di kamar membaca buku.
Perubahan dimulai pada 2002, seorang temannya di Universitas Tshinghua, Beijing, menantangnya untuk backpack ke Mongolia. Langkah Agus ternyata tidak bisa dihentikan sejak itu.
Selama perjalanannnya Agustinus telah menguasai bahasa Hindi, Urdu, Farsi, Rusia, Tajik, Kirghiz, Uzbek, Turki. Dia juga menguasai bahasa Arab, Armenia, dan Georgia. Jangan tanya bahasa Inggris, Mandarin, Indonesia, dan Jawa, tentu saja dia fasih.
Dalam blognya kemampuan bahasa Agustinus hampir membuatnya celaka. Di Afghanistan dia sempat dicurigai oleh polisi setempat sebagai seorang teroris dari Pakistan. Sekelompok polisi memukulinya, tapi yang keluar dari mulutnya adalah bahasa Urdu.
“Seharusnya saya ngomong bahasa Inggris, tapi waktu itu spontan yang keluar bahasa Urdu,” kata Agustinus bercerita dalam blog resminya. Urdu tak lain adalah bahasa nasional Pakistan.
Ok para jomblowers, jangan lupa untuk share dan bagikan artikel ini agar kalian dan teman kalian selalu update informasi seputar Kediri dan sekitarnya.