Mengetahui isi dan tujuan Gajah Mada mengucapkan sumpah palapa. Salah satu tokoh yang terkenal pada masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Tentunya tidak lepas dari sejarah mengenai Gajah Mada.
Gajah Mada merupakan seorang panglima perang sekaligus maha patih yang berperan penting pada zaman kerajaan Majapahit. Pada masa kejayaan Ratu Tribhuwana Tunggadewi, beliau menjabat sebagai Amangkhubumi atau perdana menteri.
Pada masa kehidupannya, Gajah Mada pernah mengucapkan sumpah yang penting dan dikenang hingga kini yaitu Sumpah Palapa.
Apa Isi Sumpah Palapa?
Sumpah Palapa dapat ditemukan dalam teks Pararaton. Pararaton adalah naskah dalam bahasa Jawa Kawi, yang berisi mengenai raja-raja Singosari dan Majapahit di Jawa Timur. Isi Sumpah Palapa adalah sebagai berikut:
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Adapun arti sumpah palapa adalah:
Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah menundukkan seluruh Nusantara dibawah kekuasaan Majapahit, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.
Politik penyatuan Nusantara ini berlangsung selama 21 tahun, sehingga Gajah Mada berhasil menyatukan beberapa kerajaan di Nusantara. Kerajaan Majapahit pun berkembang menjadi kerajaan yang sangat besar dan kuat. Demikian tujuan Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Apa Tujuan Sumpah Pelapa?
Sumpah Palapa merupakan sumpah yang diucapkan oleh Maha patih Gajah Mada pada saat upacara pengangkatannya menjadi Amangkhubumi Majapahit sekitar tahun 1258 Saka atau 1336 Masehi. Tujuan Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada adalah untuk menyatukan Nusantara.
Menurut beberapa ahli, setelah Majapahit lahir, visi politik kerajaan tidak seperti gagasan Kertanegara, terutama saat Airlangga tidak menghendaki ekspansi kekuasaan.
Setelah Airlangga meninggal dan digantikan oleh Tribhuwana Tunggadewi, terdapat kesamaan visi antara Gajah Mada dan sang ratu yang memantapkan Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara di bawah bendera kerajaan Majapahit.
Sejarah Hidup Gajah Mada
Mahapatih Gajah Mada bersama Raja Hayam Wuruk membawa Kerajaan Majapahit mengguratkan sejarah emas dalam peradaban Indonesia. Lewat Sumpah Amukti Palapa, Gajah Mada berikrar akan menyatukan wilayah-wilayah Nusantara di bawah naungan Kemaharajaan Majapahit. Berikukt ini sejarah hidup patih Gajah Mada yang dirangkum dari laman tirto.id, yuk simak!
Menurut ahli sejarah, bahwa Gajah Mada tidak memiliki ayah dan ibu. Ia terlahir dari dalam buah kelapa, sebagai penjelmaan Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) ke dunia. Dengan kata lain, Gajah Mada terlahir atas kehendak dewa-dewa.
Akan tetapi, menurut Serat Pararaton, Gajah Mada merupakan anak dari Gajah Pagon yakni seorang seorang petinggi Kerajaan Majapahit dan pengikut setia Raden Wijaya. Dikisahkan saat itu terjadi peperangan dengan tentara Kadiri dan kemudian Raden Wijaya mengungsi ke Desa Pandakan, Madura. Saat peperangan tersebut, Gajah Pagon terluka dan dititipkan kepada Macan Kuping, Kepala Desa Pandakan.
Lalu, Gajah Pagon menikah dengan anak Macan Kuping yang kemudian melahirkan Gajah Mada. Mengutip karya jurnal yang ditulis Yusak Farchan dan Firdaus Syam bahwa sifat dari Gajah Mada serupa dengan ayahnya Gajah Pagon. Dua orang yang memiliki nama Gajah tersebut bersifat pemberani, tahan mental, tidak mudah menyerah, setia kepada tuannya dan berperilaku seperti hewan gajah dalam menghalau semua penghalang.
Peran Gajah Mada di Kerajaan Majapahit
Terlepas dari latar belakang Gajah Mada yang masih belum diketahui terang, sosok ini punya peranan penting dalam sejarah Majapahit. Gajah Mada memulai kariernya di Majapahit pada masa pemerintahan Jayanegara. Saat itu ia menjadi bekel atau prajurit di kesatuan khusus bhayangkara. Peran sentralnya dapat dilihat ketika terjadi pemberontakan Ra Kuti pada 1319 M.
Dalam Serat Pararaton dijelaskan bahwa saat Ra Kuti melakukan pemberontakan, yang menjadi bekel jaga di Kerajaan Majapahit adalah Gajah Mada. Atas jasanya menyelamatkan Raja Jayanegara, ia diangkat sebagai patih (1319-1321 M) untuk mendampingi Rani Kahuripan yang saat itu dijabat Tribhuwana Tunggadewi. Dua tahun setelahnya Gajah Mada diangkat menjadi Patih Daha untuk menggantikan Patih Arya Tilam yang telah mangkat.
Peran sentral Gajah Mada di Majapahit semakin menguat, ketika pada 1336 M Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit. Pengangkatan tersebut didasarkan atas jasanya yang berhasil memadamkan pemberontakan di daerah Sadeng pada 1331 M.
Wafatnya Gajah Mada
Karier Gajah Mada ini makin memuncak setelah Tribhuana Wijayatunggadewi turun tahta pada 1351 M, Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk. Bersama dengan Gajah Mada, Hayam Wuruk memimpin Majapahit dan mencapai masa kejayaannya. Namun kegemilangan Gajah Mada pun meredup ketika, Perang Bubat 1357 M.
Pada perang tersebut terjadi pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dengan pasukan Kerajaan Sunda yang akhirnya menimbulkan banyak korban dari Sunda. Tindakan Gajah Mada ini sangat disayangkan oleh Hayam Wuruk.
Saat itu Hayam Wuruk menganugerahi Gajah Mada berupa tanah di daerah Probolingo. Namun, penganugerahan ini pun disinyalir sebagai bentuk anjuran halus dari agar Gajah Mada menjauh dari Majapahit. Gajah Mada pun mangkat pada 1364 M. Setelah wafatnya, Hayam Wuruk pun melanjutkan kepemimpinannya di Majapahit hingga akhirnya ia meninggal pada 1389 M. Sepeninggal dua orang ini Majapahit di masa-masa selanjutnya mengalami penurunan dan akhirnya runtuh pada 1527 M.